Kami tidak tanggung jawab lho!!
“Kalau terjadi apa apa dengan Anda dan bayi Anda, Kami tidak Mau tanggung jawab lho.”
Kata ini adalah kata kata pamungkas dan merupakan momok terbesar ketika orang mau melahirkan.
Nah kok bisa? saya akan ceritakan detailnya.
Siang ini saya mendapatkan klien pasangan suami istri yang berniat untuk melakukan proses melahirkan normal setelah sebelumnya operasi SC (Baca: VBAC / Vaginal Birth After Caesarean) saat ini sang ibu belum hamil, tetapi beliau ingin sekali belajar dan mempersiapkan diri sebelum hamil dengan niatan kelak jika di ijinkan untuk hamil kembali, maka beliau berniat untuk melahirkan dengan cara normal alami per vaginam.
Tiga (3) tahun yang lalu bunda Rianty (Nama Samaran) hamil anak pertamanya. Karena ingin sekali melahirkan secara normal alami, beberapa persiapan beliau lakukan, mulai dari jalan pagi, mengikuti senam hamil, yoga dan rutin periksa di Bidan. Karena rencana mereka adalah melahirkan normal, maka mereka memutuskan untuk mencari bidan terdekat agar bisa melahirkan normal. Nah ketika usia 36 minggu, tiba tiba bunda Rianty mendapatkan kabar dukacita dari temennya yang meninggal karena melahirkan di tempat praktek bidan karena perdarahan.
Syok, kaget, panik dan takut membuat bunda Rianty menjadi Down mentalnya, apalagi setelah melayat di rumah temannya tersebut, bunda Rianty semakin down, ketakuan, kepanikan selalu melanda pikirannya, tensinya tiba tiba menjadi tinggi dan tubuhnya merasa tidak nyaman. Bayang bayang perdarahan dan meninggal selalu menghantui malam nya.
Dan semenjak itu, “haluan” mereka berubah….bunda Rianty dan suami mulai rutin memeriksakan kehamilannya di RS , dengan alasan biar bisa terdeteksi secara dini jika terjadi apa-apa dalam kehamilannya.
Tepat 4 minggu setelah kejadian meninginggalnya temannya itu, bunda Rianty mengalami Flek dan kontraksi, dan serta merta beliau ke RS. Saat itu ternyata sudah pembukaan 1 cm. Dan pihak RS mengharuskan budan Rianty untuk segera mondok atau stay /menginap di RS tersebut. Saat itu bunda Rianty bernegosiasi dengan pihak RS untuk pulang dahulu karena menurut yang bunda Rianty baca dari beberapa buku dan artikel bahwa pembukaan 1 cm menuju pembukaan lengkap (10cm) masih sangat lama, bisa beberapa jam bahkan bisa beberapa hari, apalagi karena saat itu kontraksi yang beliau rasakan belum intens. Namun pihak RS lagi lagi menolak permintaan Bunda Rianty.
Dan ketika masuk RS pun, walaupun masih pembukaan 1 cm, bunda Rianty langsung dibawa ke Ruang bersalin. Ketika bunda Rianti mencoba untuk negosiasi kamar, agar bunda Rianty tidur di kamar pasien dulu, serta jalan jalan untuk mempercepat kontraksi dan pembukaan, lagi lagi permintaan itu di tolak oleh pihak RS. Bahkan dokter sempat melontarkan kata kata begini : “wong cuman baca aja kok udah berlagak pintar.” Dan akhirnya itu yang membuat selama proses pembukaan, bunda Rianty akhirnya hanya tiduran di tempat tidur di ruang persalinan. Jerat jerit pasien lain yang melahirkan di ruangan itu membuatnya semakin down mentalnya, apalagi ketika salah satu ibu melahirkan di ruangan itu meronta, menangis dan meminta untuk segera dilakukan operasi SC karena dia sudah tidak tahan merasakan sakitnya kontraksi. Itu semakin membuat bunda Rianty ketakutan dan panik.
Sekitar 10 jam menunggu di ruang bersalin, ternyata pembukaan serviks hanya bertahan di pembukaan 1 cm, kontraksi pun masih belum teratur. Dan saat itu dokter yang merawatnya mengatakan bahwa bunda Riyanti harus OPERASI , karena di anggap gagal dan tidak mampu untuk melahirkan secara normal, akibat pembukaan tidak bertambah.
Saat itu bunda Riyanti dan suami sempat menolak dan kembali lagi mencoba untuk bernegosiasi dengan dokter yang merawatnya. Namun inilah jawaban dari sang dokter:
“Terserah bapak dan ibu, TAPI KALAU TERJADI APA APA dengan BAYI Anda, kami tidak mau tanggung jawab.”
Yup!!!! Ternyata itu adalah kalimat PAMUNGKAS yang sangat ampuh, karena tidak hanya bunda Riyanti dan suami yang menyerah, seluruh keluarga pun langsung mendesak dan meminta untuk segera dilakukan Operasi.
Seumur Hidupnya, baru kali ini bunda Rianty mondok/menginap di RS dan ini kali pertama beliau masuk di ruang operasi. Sendiri lagi! Karena suami tidak diperbolehkan untuk masuk menemani nya di ruang operasi. Ruang operasi yang sangat dingin, warna hijau dan penuh dengan alat alat dari metal dan itu membuat bunda Rianty menjadi sangat takut. Apalagi ketika selesai operasi dan entah kenapa badannya menggigil lama (lebih dari 2 jam) dan buna Rianty tidak bisa mengontrol tubuhnya sendiri. Suami panik semuanya panik, namun pihak RS hanya mengatakan itu hal biasa, tanpa memberikan solusi musti di apakan kondisi ini supaya segera berakhir. Namun tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu waktu dan berusaha “berdamai & menikmati” situasi ini.
Proses menyusui yang susah payah karena proses perlekatan yang kurang sempurna membuat bunda Riyanti semakin stres. Dan beliau sangat trauma.
Nah seiring dengan waktu, pelan pelan bunda Riyanti berusaha untuk mengevaluasi kejadian yang menimpa dirinya 3 tahun yang lalu.
Satu pertanyaan yang muncul saat itu…
Saat sang dokter memberi peryataan :
“Terserah bapak dan ibu, TAPI KALAU TERJADI APA APA dengan BAYI Anda, kami tidak mau tanggung jawab.”
Apa yang akan mereka lakukan apabila :
- Bunda Riyanti menyetujui perintah dokter untuk SC, namun ternyata tetap Terjadi apa-apa atau terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan , misalnya kejadian yang paling buruk (ibu meninggal, anak meninggal atau keduanya meninggal), padahal beliau melakukan SC karena “ancaman” tenaga kesehatan dimana jika tidak mau Operasi, maka sang Dokter tak mau tanggung jawab. Nah jika kejadiannya seperti ini, apakah sangpihak provider tetap mau tanggung jawab? (ganti rugi misalnya?membiayai semua biaya RS yang sudah dikeluarkan? Atau bentuk tanggung jawab lain?) atau bagaimana?
- Bunda Riyanti tidak menyetujui perintah dokter untuk SC, kemudian memaksa untuk pulang dulu dan kembali lagi jika ada kemajuan persalinan, apakah sang dokter tidak mau melayani atau menerima?
Okay mungkin kita harus mulai terbuka dan mulai belajar memahami dan juga belajar berubah.
Kalau kita lihat di dunia medis, kita tahu bahwa posisi Dokter, Bidan , Perawat adalah posisi TOP atau mohon maaf sebelumnya…..kalau mau meng-kasta kan posisi kami adalah kasta brahmana. Sedangkan posisi pasien adalah kasta Sudra.
Beda dengan profesi lain seperti pengacara dan kliennya, atau pedagang dengan pembeli, maka yang kasta brahmana adalah si pembeli dan si klien karena mereka yang punya uang dan mereka yang beli.
Nah sayangnya di dunia kebidanan, ibu hamil dan ibu bersalin dianggap sebagai PASIEN bukan KLIEN
Nah apa bedanya PASIEN dan KLIEN?
Gampangnya , Pasien adalah Orang Sakit sedangkan Klien adalah pelanggan atau orang sehat
Sehingga sebagai pasien posisi nya adalah harus tunduk dan patuh kepada dokter, bidan yang merawatnya sehingga ibu bersalin tidak punya banyak pilihan. Bahkan ketika itu bersangkutan dengan tubuhnya, bayinya juga.
Padahal, ibu hamil ibu bersalin adalah orang sehat, artinya posisi ibu hamil dan ibu bersalin adalah sebagai klien, yang berhak berkomunikasi dua arah, berhak meminta dan menentukan apa yang dilakukan atas dirinya, walaupun dalam situasi tertentu (kasus kegawat daruratan, atau komplikasi) tentu “status†sang ibu berubah dari klien menjadi pasien. Dan dokter , bidan dan perawat mempunyai “otoritas†demi misi penyelamatan.
Nah lalu bagaimana? Karena kondisi di Indonesia bahkan sebagian besar di dunia budaya yang terbentuk adalah yang seperti cerita bunda Riyanti di atas?
- Anda sebagai klien harus mau memberdayakan diri.
- Selalu gunakan BRAIN dalam menentukan pilihan (buka link: http://www.bidankita.com/gunakan-brain-pada-saat-mengambil-keputusan-dalam-persalinan/)
- Ketahui semua tindakan atau intervensi yang akan dilakukan pada tubuh dan diri Anda.
- Jangan mengambil keputusan dalam kondisi panik
- PENGETAHUAN ITU KUNCI
Lalu saran untuk sesama tenaga kesehatan?
Ya sederhana saja , cobalah memposisikan diri sebagai mereka (ibu hamil dan ibu bersalin) , gunakan empati Anda, mereka adalah saudara dan keluarga Anda, mulailah kurangi bahasa atau kalimat yang mengancam atau mengintimidasi.
Akan jauh lebih bijak apabila, menggunakan Bahasa yang jauh lebih “halus”, DENGAN memberikan info yang lengkap , jelas dan juju tentunya, pasti sang klien akan merasa lebih nyaman. dan merekapun dapat menentukan pilihannya dengan “sadar”
Mereka adalah KLIEN bukan PASIEN.
semoga pelayanan Kita menjadi jauh lebih baik
Salam hangat.
Yesie