Monitoring Detak Jantung Janin Secara Berkala dalam persalinan
ketika mendalami tentang Gentle Birth, lalu kemudian perlahan lahan mengamati segala tindakan dan asuhan yang diberikan kepada ibu bersalin dalam setiap pertolongan persalinan, kembali saya belajar dan belajar lagi.
banyak sekali hal yang harus di sempurnakan. banyak sekali issue yang harus di bahas dan banyak sekali asuhan yang seharusnya bisa di berikan lebih baik lagi. sehingga bisa meningkatkan hasil.
terus terang sudah lama saya merasakan sebuah “kekonyolan” dalam proses persalinan di Indonesia ini.
“Semakin banyak tenaga kesehatan, semakin canggih fasilitas kesehatan dan tehnologi dalam kebidanan. Namun mengapa justru semakin sedikit ibu yang berhasil melahirkan dengan NORMAL ALAMI tanpa TRAUMA melalui Vagina Mereka?”
Hmmm…unik kan? cenderung konyol.
Nah kali ini saya akan coba bahas sedikit tentang Intermittent Auscultation (IA) atau Monitoring Detak Jantung Janin Secara Berkala.
Intermittent Auscultation (IA) atau Monitoring Detak Jantung Janin Secara Berkala dalam persalinan adalah standar untuk asuhan kebidanan berbasis masyarakat. Metode berbasis bukti berteknologi rendah ini diakui sebagai berkhasiat oleh ACOG, AWWOHN dan penyedia layanan kebidanan konvensional lainnya. Karena hanya membutuhkan Dopler dan jam tangan atau dinding yang ada detikannya.
Metode ini sederhana sebenarnya. Segera setelah kontraksi rahim / uterine contraction (UC) , maka detak jantung janin (DJJ) didengarkan selama satu menit penuh. Kuantitas dan kualitas dari aktivitas jantung janin kemudian direkam. Metode ini awalnya dijelaskan oleh Dr Joseph DeLee pada tahun 1924 di buku obstetri nya “The Principles and Practice of Obstetrics”. auskultasi intermiten (IA) dianggap merupakan aspek penting dari asuhan kebidanan bagi perempuan selama persalinan ‘risiko rendah’. bagaimana caranya ada disini
Harapan surveilans bayi tercermin dalam pedoman dan kebijakan rumah sakit. Frekuensi yang dianjurkan IA umumnya setiap 15-30 menit selama kala satu persalinan dan setelah setiap kontraksi (atau lebih sering jika kontraksi yang lebih lama dari 5 menit sekali) selama tahap kala dua.
Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan tentang konsep ‘tahap’ dalam persalinan, seperti yang di ungkapkan dalam artikel ini. Ada anggapan bahwa pedoman ini berdasarkan bukti didasarkan pada bukti penelitian. Namun ternyata tidak ada penelitian sampai saat ini, apakah praktek memeriksa DJJ janin benar benar bermanfaat.
Nah, artikel saya tentang Intermittent Auscultation (IA) atau Monitoring Detak Jantung Janin Secara Berkala dalam persalinan kali ini tidak akan membahas tentang apa dan bagaimana cara melakukan IA, namun lebih untuk merefleksikan bagaimana supaya tindakan AI ini tetap berpusat pada sayang ibu.
Beberapa kekhawatiran tentang preskriptif IA
di satu sisi, dengan mendengarkan detak jantung janin ini dapat meyakinkan ibu dan bidan / tenaga kesehatan tentang kondisi kesejahteraan janin. tapi disisi lain, ini juga melibatkan sesuatu yang mana apa pun yang Anda lakukan dapat mengganggu proses persalinan secara fisiologi (yaitu merangsang neokorteks), dimana seorang ibu mungkin harus bergerak atau diatur posisinya senyaman Anda (tenaga kesehatan) agar Anda dapat melakukan pemeriksaan IA ini, walaupun mungkin posisi yang di anjuran atau di haruskan ini tidak terasa nyaman bagi sang ibu.
dan ketika Anda sulit menemukan ? yang terjadi adalah ini justru dapat membuat kecemasan dan kekhawatiran jika denyut jantung sulit untuk menemukan atau tidak ‘normal’. Pada tahap kedua persalinan 75% dari bayi akan memiliki denyut jantung ‘normal’ karena proses fisiologis normal seperti kompresi kepala (Sheiner et al. 2001). pola abnormal pada tahap kedua hanya signifikan jika ada pola abnormal pada tahap pertama persalinan (Sheiner et al, 2001;. Loghis et al 1997;. Wu, Chen & Wang 1996).
nah lalu bagaimana dong sebaiknya?
di satu sisi, IA penting untuk kita sebagai penyedia layanan kesehatan untuk memastikan kondisi janin sejahtera, namun disisi lain IA pun berpotensi untuk mengganggu proses persalinan karena neocortex bisa saja terangsang dan ini bisa justru membuat hormon oksitosin menurun, dan tentu akan mengganggu kontraksi.
asuhan kebidanan itu butuh ART. butuh Science…dan Spiritual. jadi jangan pernah tinggalkan ke tiga pilar itu. maka saran saya:
- Sebelum persalinan membahas IA dengan ibu:Menguatkan dan menyemangati ibu bahwa dia adalah ahli dalam menjaga kesejahteraan bayinya . Dorong dia untuk terhubung dengan bayinya dan percaya naluri nya tentang / nya kesehatannya pada kehamilan, persalinan dan seterusnya.
- Cari tahu seberapa sering dia ingin Anda untuk mendengarkan detak jantung bayinya, dan apakah dia lebih suka Anda untuk menggunakan doppler atau pinnard/stetoskop khusus untuk mendengarkan DJJ? Jelaskan bahwa dia bisa berubah pikiran setiap saat selama persalinan tentang kapan dan bagaimana Anda mendengarkan bayinya.
- Jelaskan bahwa sementara dia mendorong bayinya keluar (mengejan) akan ada beberapa perubahan pada pola denyut jantung (deselerasi) dan bahwa ini adalah normal.
- Jelaskan bagaimana jadwal atau rencana Anda untuk mendengarkan DJJ janin dan memastikan bahwa ibu merasa nyaman dengan asuhan yang Anda berikan.
Selama persalinan:
- Hindari merangsang neokorteks nya dengan mengajukan pertanyaan ‘bisa saya mendengarkan…..?’ Sebaliknya dengan lembut bergerak ke arahnya dengan doppler / pinnard. makanya sebaikya Anda sudah Memiliki perjanjian dengan ibu, kapan Anda akan mendengarkan DJJ.
- Jika denyut jantung normal sdi kala I, dan tidak ada faktor risiko , maka tidak perlu meningkatkan freluensi IA pada kala dua.
- Ketika kepala sudah crowning akan bisa sangat sulit dan tidak nyaman untuk menemukan jantung janin karena posisi bayi ada di panggul. jadi tidak perlu melakukan IA ketika kepala crowning, Sebaliknya amati saja warna kulit kepala bayi untuk menilai oksigenasi – kulit kepala merah muda yang bagus = bayi cukup oksigen.
Anda dapat men-download poster (kajian literatur) tentang sejumlah praktik kebidanan rutin dilakukan selama kelahiran sini
referensi:
- Albers, LL 1999, ‘The duration of labor in healthy women’, Journal of Perinatology, vol. 19, no. 2, pp.114-9.
- Cesario, SK 2004, ‘Reevaluation of Friedman’s labor curve: a pilot study’, JOGNN, vol. 33, pp. 713-22.
- Lavender T, Alfirevic Z & Walkinshaw S 2006, ‘Effect of different partogram action lines on birth outcomes: a randomized controlled trial’, Obstetrics & Gynecology, vol. 108, no. 2, pp. 295-302.
- Neal JL, Lowe NK, Ahijevych KL, Patrick TE, Cabbage LA & Corwin EJ 2010 ‘”Active labour” duration and dilation rates amongst low-risk nulliparous women with spontaneous labor onset: a systematic review’, Journal of Midwifery and Womens Health, vol. 55, no. 4, pp. 308-318.