Gentle Birth Klien VBAC (Vaginal Birth After Caesarean)

Gentle Birth Klien VBAC (Vaginal Birth After Caesarean)

Terimakasih kepada bunda Irma Kurnia Sari yang sudah mau share tentang kisah suksesnya menjalani Gentle VBAC (Vaginal Birth After Caesarean)


kisahnya menarik karena bercerita tentang 3 kehamilan dan 3 persalinannya.


ceritanya Panjang, detail tapi menyenangkan


So Cekidot…..


Cerita Tiga Kelahiran


Tiga kali hamil, tiga kali melahirkan, tiga pengalaman yang ternyata memiliki keunikan tersendiri. Saya jadi tersadar, memang betul bahwa setiap kehamilan dan kelahiran itu unik, jarang sekali ada yang sama. Mengalami tiga kali kehamilan dan tiga kali kelahiran dengan cara yang berbeda membuat saya bersyukur, bisa mendapatkan pengalaman yang membuat saya menyadari beberapa hal.


Kehamilan dan Kelahiran Pertama


Kehamilan pertama saya termasuk lancar, tidak terlalu mual di trimester pertama, rajin periksa ke dokter setiap bulan, selalu mengkomsumsi obat dan vitamin yang diresepkan dokter, posisi dan berat badan bayi Alhamdulillah selalu terkontrol dan berada posisi yang tepat. Belajar mengenai kehamilan dan kelahiran saya lakukan melalui internet. Tidak ada olahraga khusus selain jalan kaki rutin setiap hari kerja dari rumah ke kantor dan dari kantor ke rumah selama masing-masing 30 menit. Asupan makanan cukup saya jaga, buah-buahan menjadi makanan favorit saya karena cukup menyegarkan, dan setelah mencoba minum hampir semua merk susu ibu hamil saya memutuskan untuk tidak mengkonsumsinya kembali dan beralih ke susu murni, karena pasokannya cukup melimpah di Bandung, dan saya suka rasanya J. Puasa ramadhan saya jalani di bulan ke-7 dan bolong 5 hari 😀 Waktu itu saya tidak membuat birth plan secara tertulis, hanya membuat scenario global saja, jika kehamilan saya tidak ada masalah, saya akan melahirkan di kampong dibantu oleh bidan yang kebetulan rumahnya hanya 500m dari rumah orang tua.


HPL anak pertama 11 Januari 2006, dan saya putuskan untuk mulai mengambil cuti mulai 7 Januari 2006, mudik ke kampong untuk melahirkan sekaligus merayakan Idul Adha bersama keluarga. Hari selasa, 10 Januari 2006, sebelum berangkat sholat Ied saya mendapat flek coklat dan sedikit lendir darah. Selepas sholat saya memeriksakan diri ke bidan dan beliau mengatakan kemungkinan sekitar 1-2 hari lagi saya akan melahirkan. Beliau mengajari saya senam dan pernafasan yang bermanfaat untuk persiapan nanti melahirkan. Beliau juga berpesan untuk datang ke tempat bersalin jika sudah tidak kuat menahan nyeri kontraksi, selama masih bisa menahan nyeri kontraksi sebaiknya tetap di rumah saja.  Malamnya saya merasakan sedikit kontraksi namun jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.


Keesokan paginya, saya diajak ibu saya jalan kaki dengan jarak tempuh yang agak jauh, kontraksi masih sesekali saya rasakan. Dan malam itu mulai pukul 21.00 saya merasakan kontraksinya mulai berbeda, sudah mulai teratur, dan saya pun mulai menghitung jarak antar kontraksi dan lama kontraksi. Pukul 3 saya merasa sudah harus membangunkan orang tua, dan meminta bersiap-siap berangkat ke Bidan. Pukul 4 saya sudah ditempat bu Bidan dan setelah VT … dinyatakan sudah pembukaan lengkap!!. Turun dari tempat tidur pemeriksaan VT, tiba-tiba refleks lutut saya menekuk kemudian ketuban pecah. Segera saya naik ke tempat tidur persalinan dengan posisi tidur/litotomi, dan mulai mengejan sesuai dengan irama kontraksi. Rasanya beberapa kali mengejan tapi bayi belum keluar juga, yang terasa adalah kepala bayi mulai muncul kemudian masuk kembali, namun akhirnya pukul 5 dengan nafas yang cukup panjang akhirnya putri pertama saya lahir juga :D. Tali pusat diklem kemudian dipotong, dan saya disuntikkan sesuatu, kata bidan untuk merangsang plasenta keluar.


Hari-hari pasca kelahiran kondisi fisik saya cepat pulih, walaupun ASI keluar namun si kecil jarang minum dan tidak mau bangun kalau dibangunkan, kebetulan saat itu musim penghujan sehingga tidak ada sinar matahari pagi untuk menjemur si kecil. Akhirnya bayi saya kuning dan dirawat selama 3 hari di rumah sakit.


Kehamilan dan Kelahiran Kedua


Kehamilan kedua saya menyimpan kenangan dan pembelajaran buat saya. Trimester pertama lolos dengan mulus, trimester kedua juga termasuk mulus, hanya saja di bulan ke-6 saya pindah kota ke Yogya dan mulailah ada sedikit gangguan. Saat itu saya berpikir bahwa semua dokter kandungan adalah sama, jadi tidak menjadi masalah kita akan memeriksakan ke dokter kandungan mana. Bulan ke-6 saya memeriksakan diri ke dokter kandungan yang terdekat dari rumah mertua, dan analisa beliau membuat saya cukup terganggu. Janin saya dinyatakan sungsang, dan beliau memberi peringatan jika itu tidak dibenahi maka akan membuat proses persalinan saya sulit bahkan bisa berakhir ke SC.


Dengan berbekalkan pengalaman kehamilan pertama yang “baik-baik saja” dan proses kelahiran pertama yang menurut saya “lancar-lancar saja”, tiba-tiba saya divonis dengan keadaan yang “tidak baik” dan hal itu membuat saya shock. Walaupun sudah berusaha untuk tidak mengindahkan apa kata dokter, tokh janin umur enam bulan memang masih berputar di dalam rahim, pikiran saya mulai terganggu, dan saya putuskan untuk tidak kembali ke dokter yang sama bulan depan. Knee chest position pun menjadi aktifitas rutin di pagi dan malam hari sebelum tidur. Di trimester ketiga saya mencari dokter lain. Karena selalu merasa kurang sreg, saya mencoba periksa ke tiga dokter/bidan yang berbeda, sampai minggu ke-38 saya masih belum memutuskan akan melahirkan dengan dibantu oleh dokter/bidan yang mana.


Di minggu ke-40 bersamaan dengan hari raya idul fitri, ternyata jadwal semua dokter yang pernah saya kunjungi berubah, tersisa satu dokter di sebuah rumah sakit. Sampai HPL belum ada kontraksi sama sekali. Di minggu ke-41, berdasarkan pemeriksaan USG, ketuban saya dinyatakan tinggal sedikit walau masih cukup untuk bayi, detak jantung bayi masih normal, dan mulai ada pengapuran juga pada plasenta, hal-hal yang cukup membuat pikiran saya bertanya-tanya, “Kenapa ya kok tidak ada kontraksi sama sekali??”. Akhirnya dokter menawarkan untuk induksi, dan saya minta waktu untuk berpikir. Satu hal yang masih saya ingat, saya bertanya kenapa kok kontraksi alami saya tidak muncul, sedang pada anak pertama semua lancer-lancar saja. Dokter hanya bilang “itu karena hormonal bu … susah juga dijelasin kenapa kondisi hormon ibu tidak memunculkan kontraksi”


Saya Tanya lagi, “Apa yang bisa saya lakukan untuk menstabilkan hormon saya, sehingga bisa muncul kontraksi alami?”


Dokter menjawab “Setiap kehamilan itu berbeda-beda, walaupun terjadi pada ibu yang sama. Jadi kondisi hormone ibu saat ini dengan kehamilan pertama bisa berbeda”


Dan saya pun pulang dengan berbekal obat hormonal yang diresepkan dokter, dengan isi kepala yang runyam penuh pertanyaan dan ketidakpuasan atas jawaban dokter, dan segudang pertanyaan seputar hormone, mengapa ya …. ???.


Selama dua hari konsumsi obat hormonal, tidak ada perubahan sama sekali, tidak ada kontraksi. Akhirnya suami meminta saya untuk induksi karena khawatir dengan kondisi bayi kami. Perasaan saya kacau sekali saat itu, ingin rasanya menunda induksi, ingin menunggu 2-3 hari lagi, atau kalau boleh seminggu, rasanya masih bisa deh menunggu. Namun karena keluarga khawatir kalau ada apa-apa dengan bayi kami, akhirnya saya pun setuju .. walau dengan berat hati .. untuk melakukan induksi. Dan mulailah rentetan peristiwa itu terjadi …


Saya datang ke rumah sakit dengan keyakinan penuh bahwa induksi akan berhasil, dan saya pun mulai manjalani alur prosedur sebagai pasien rumah sakit. Setelah menandatangani surat pernyataan, perawat mulai mencukur rambut pubis, melakukan enema, dan memasang infuse, di bangsal yang Cuma bersekat kain, bersama dengan sesame wanita hamil lain dengan kondisi yang berbeda-beda, ada yang tenang, ada yang menangis menyalahkan suaminya, ada juga yang meringis-ringis (mungkin sedang menahan kontraksi). Walaupun tidak nyaman, saya cuek saja, yang penting induksi nanti berhasil. DI ruang bersalin saya dianjurkan untuk tidur saja, menurut perawat supaya nanti tidak kehabisan tenaga waktu mengejan. Setahu saya ada beberapa posisi yang baik dilakukan supaya bayi segera turun ke jalan lahir, kok malah diminta untuk tiduran? Dan saya pun semakin tidak nyaman …


Tempat tidur dan bantal yang keras tidak bisa membuat saya tidur barang sekejap , apalagi dengan tangan terpasang infuse, dan setiap 30-45 menit ada dokter magang yang memeriksa tekanan darah, temperature, dan kemajuan kontraksi (gimana mau tidur??). Setelah beberapa jam induksi dilakukan saya pun merasakan sedikit kontraksi, tapi kok rasanya berbeda ya dengan kontraksi yang pernah saya alami dulu? Di akhir induksi pertama, perawat melakukan VT, tidak ada pembukaan sama sekali, harapan saya akan keberhasilan induksi pun pupus sudah. Selanjutnya perawat pun menanyakan pada saya dan suami, apakah akan mengulang induksi atau melakukan SC? Menurut perawat, jika induksi pertama tidak menghasilkan pembukaan sama sekali, biasanya jika induksi diulang pun tidak memberikan hal yang berbeda. Saya dan suami pun menyetujui tindakan SC.


Akhirnya saya pun memasrahkan diri untuk melakukan SC, hal yang benar-benar di luar scenario rencana kelahiran anak saya. Prosedur untuk SC pun mulai dilakukan mulai dari puasa makan dan minum, pemasangan kateter, mengganti baju dengan baju operasi, bius setengah badan, dan operasi pun dimulai di ruang operasi yang dingin. Yang saya ingat adalah badan serasa bagaikan mobil yang sedang dibengkelkan untuk mengeluarkan si bayi, dan tangisan putra ke-2 saya pun terdengar. Tidak ada IMD saat itu, sama sekali tidak terpikir IMD karena semua di luar scenario. Saya pun hanya diijinkan mengecup putra saya sebelum dibawa ke ruang bayi, dan saya pun mulai tertidur (mata berat sekali, namun telinga masih bisa mendengar) karena hidung mulai mampet akibat ruang operasi yang dingin sekali, sembari dijahit bekas luka SCnya. Pasca operasi saya sempet menggigil walau sudah keluar dari ruang operasi.


Hari-hari pasca kelahiran cukup menyulitkan untuk saya karena pergerakan badan terbatas akibat luka bekas operasi, namun sangat bahagia karena si kecil mau dan cukup antusias menyusu. Alhamdulillah si kecil tidak mengalami kuning seperti pada kakaknya dulu.


Kehamilan dan Kelahiran Ketiga


Berbeda dengan kehamilan pertama dan kedua yang direncanakan waktunya, kehamilan ketiga hadir satu tahun lebih cepat dari rencana J ketika anak kedua saya berumur 1 tahun 4 bulan. Saya masih ingat betul, di bulan maret 2011 saya melihat foto-foto bayi temen saya Irwan/Uun, suami dari ibu Dyah/Prita. Saya terinspirasi untuk mempelajari home birth – water birth walaupun saat itu belum hamil (belum tahu kalau sudah hamil tepatnya :D), juga banyak membaca website, account facebook dan fan page bidan kita milik mbak Yesie Aprillia. Dan ups …. di bulan April saya sudah hamil 10 minggu.


Kehamilan ketiga ini saya menginginkan persalinan normal dengan alasan recovery yang lebih cepat, dan lebih nyaman untuk ibu dan bayi. Dari membaca artikel di website bidan kita, mengikuti posting di fb bidan kita, melihat dan membaca semua foto dan ulasan seputar foto di bidan kita, saya mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan yang tidak terjawab di kehamilan saya sebelumnya J Saya mengakui walaupun sudah dua kali melahirkan ternyata masih banyak yang perlu saya pelajari mengenai kehamilan, kelahiran, dan parenting. Tapi tidak ada kata terlambat untuk belajar, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.


Disaat hamil ke-3 saya berdomisili di Batam, Kepulauan Riau. Saya pun mulai melakukan kontak dengan pemilik situs bidan kita, mbak Yesie Aprillia, mengenai water birth – gentle birth dan kemungkinan untuk melakukannya di Batam. Berhubung sampai saat itu belum ada kemungkinan untuk melakukannya di Batam, solusi yang paling mudah adalah melakukannya di Klaten, di klinik Bidan Kita. Kebetulan mertua saya berdomisili di Yogyakarta, hanya 30-60 menit dari Klaten. Yang terbersit di benak saya saat itu adalah “Saya akan melahirkan si kecil di Bidan Kita Klaten”. Dan entah mengapa, satu demi satu muncul kebetulan yang semakin mendekatkan saya untuk mewujudkan keinginan saya itu. Di situlah saya mulai mempercayai “your wish is my command”, alam membawa saya ke sebuah scenario terbaik untuk saya dan keluarga.


Di akhir bulan Juli, umur kehamilan 23 minggu, saya resmi hijrah ke kota Yogyakarta, dan bertandang ke tempat mbak Yesie, impresi pertama saat melihat beliau adalah “she is different !!”, sama sekali tidak ada perasaan tidak sreg yang saya jumpai ketika bertemu dengan dokter kandungan. Untuk kehamilan kali ini saya bertekad hanya berkunjung ke dokter kandungan sebanyak tiga kali , masing-masing sekali untuk setiap trimester. Trimester pertama untuk mengetahui perkembangan embrio dan HPL berdasarkan USG, saya lakukan di minggu ke-10. Trimester kedua untuk mengetahui perkembangan janin, cek jenis kelamin, sekaligus meminta surat keterangan sehat sebagai syarat terbang dari Batam ke Yogya, saya lakukan di minggu ke-23. Trimester ketiga untuk mengecek kondisi bayi dan bekas luka SC untuk persiapan melahirkan.


Selanjutnya saya mengikuti kelas hypnobirthing.Saya dan suami belajar kembali dari awal mengenai serba serbi kehamilan. Jujur lho … banyak informasi yang terlewatkan di kehamilan sebelumnya dan semua pertanyaan yang sebelumnya tidak terjawab pun akhirnya terjawab 🙂


Untuk menjaga berat badan bayi dalam kisaran yang diinginkan, saya melakukan diet karbohidrat, lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah, juga bervisualisasi berat badan bayi saya antara 2.5 – 3 kg, kalimat afirmasi favorit saya “My baby is the perfect size for me” :). Saya pun rutin mengikuti kelas hypnobirthing, melakukan relaksasi, berafirmasi, berlatih tai chi (hanya berbekal melihat video panduannya), berlatih yoga (setelah mengikuti kelas yoga), dan terakhir merembet ke belajar self healing 🙂


Kebetulan saya memiliki masalah dengan latihan relaksasi karena saya tipe orang yang logis dan analitis, mencari sebab dan akibat, apa dan mengapa, intinya … kebanyakan mikir :D. Ternyata saya juga menyimpan trauma yang tersimpan di bawah sadar dan berakibat saya susah untuk rileks. Dan saya pun kembali mendapatkan jawaban untuk masalah saya tersebut yaitu self healing. Ketika saya mencari tahu tentang self healing melalui internet, mesin pencari membawa saya ke situs Reza Gunawan dan mendapati ada jadwal pelatihan self healing di Yogyakarta di bulan September . Kebetulan yang sangat menyenangkan 🙂 , saya pun langsung mendaftarkan diri, mengikuti pelatihan dan mempraktekkannya.


Saya simpulkan, semua yang saya pelajari mulai dari relaksasi, afirmasi, visualisasi, tai chi, yoga, dan self healing sangat bermanfaat untuk saya, sangat terasa bedanya. Saya senang dengan kehamilan saya, lebih enjoy dengan diri saya dan kehidupan sehari-hari (terutama mengurus dua anak sambil hamil, suami tidak dapat mendampingi karena bekerja di luar kota). Kondisi fisik senantiasa bugar, dan saya tahu kapan saya harus melakukan apa (misal: makan atau istirahat) karena semakin peka dengan alarm tubuh. Kondisi pikiran jadi lebih tenang. Puasa ramadhan di bulan ke-7 juga saya jalankan, dan yang membuat saya surprise … puasa kali ini tidak ada yang bolong!. Masalah fisik yang biasanya terjadi di trimester ketiga juga terselesaikan dengan mudah, pegal punggung/pinggang hilang, kaki tidak bengkak, tidur lebih nyenyak. Begitu saya bisa merasakan bayi posisinya sudah turun dan merasakan adanya gelombang rahim, saya pun semakin tenang dan yakin bahwa semua yang saya lakukan adalah benar :). Alam membawa saya semakin dekat dengan kehadiran bayi saya.


Saya memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di minggu ke-39 ke seorang dokter yang direkomendasikan bidan saya. Tujuan kunjungan ke dokter kali ini adalah untuk mengetahui apakah kondisi dan posisi bayi baik, adakah lilitan tali pusat, berapa berat badan bayi, dan bagaimana kondisi bekas luka operasi SC sebelumnya. Saya hanya mendapat 3 jawaban dari sekian pertanyaan yang saya ajukan. Kondisi bayi baik dan posisi sudah benar (posisi kepala), berat badan bayi kecil (2.2 kg berdasarkan USG), terdapat “defect” atau bekas luka yang penyembuhannya tidak sempurna pada bekas luka operasi sebelumnya. Dan pertanyaan terakhir saya “apakah saya bisa dan aman untuk melahirkan normal? (saya sudah sesekali merasakan gelombang rahim walaupun belum teratur)” dijawab dengan “lebih aman SC lagi karena ada defect pada luka sebelumnya”.


Pulang dari dokter malam itu saya bertemu dengan suami yang baru dijemput dari bandara. Hasil pertemuan dengan dokter saya sampaikan semua. Suami menyerahkan keputusan pada saya, meminta agar saya berkomunikasi lagi dengan bayi dengan jalan apa bayi ingin hadir. Feeling saya mengatakan bahwa tubuh saya masih bisa, dan tubuh pun memberikan tanda-tandanya menuju ke persalinan normal, si kecil pun semakin bergerak ke bawah. Dini hari itu juga, mulailah terjadi gelombang rahim yang teratur. Saya pun mengkonfirmasi pada mbak yesie apakah itu adalah tanda-tanda yang benar sekaligus menentukan kapan saya berangkat ke klaten.


Akhirnya pagi hari itu, setelah sholat subuh, saya dan suami berangkat ke Klaten. Musik David Foster mengiringi perjalanan kami untuk membuat kami lebih rileks, waktu itu suami tegang 😀 karena masih agak ngantuk (baru tidur 2 jam), masih jet lag, nyetir membawa istri yang sedang bergelombang rahim pula. Begitu sampai di klinik Bidan kita, setelah dicek ternyata sudah pembukaan tujuh. Kolam pun segera disiapkan, saya menunggu sambil bergoyang inul ria dengan bola kelahiran, sambil bervisualisasi bayi semakin turun dan turun ke bawah. Tiba-tiba terasa sensasi seperti ingin BAB. Dan ternyata, setelah dicek …. sudah pembukaan lengkap!!!  Saya pun masuk ke kolam, melanjutkan goyang inul untuk menurunkan bayi ke posisi crowning, dengan posisi menghadap dinding kolam. Kemudian saya berganti posisi dengan duduk bersandar pada kolam untuk menyambut keluarnya bayi. Saya mengejan beberapa kali. Begitu bayi keluar, saya angkat dan tempelkan ke dada, segera diselimuti dan diberi topi. Bahagiaaa rasanya menyambutnya dengan cara seperti itu. Begitu plasenta keluar saya pun keluar dari kolam, dilanjutkan dengan IMD yang absen pada kelahiran anak pertama dan kedua. Sekitar satu jam si kecil merangkak di atas badan dan akhirnya sukses menemukan puting susu 🙂


Saya memutuskan untuk Lotus Birth, membiarkan tali pusat tetap terhubung dengan bayi sampai akhirnya terputus sendiri. Dan saya saksikan sendiri, tali pusat mulai mengering dan akhirnya terputus pada hari ke-3. Takjub melihatnya !! Ternyata proses alami tanpa memotong tali pusat justru lebih cepat puput, padahal biasanya butuh waktu kira-kira seminggu untuk puput tali pusat. Dan saya pun pulang ke rumah dengan membawa banyak cerita, VBAC, menerapkan prinsip gentle birth dengan water birth dan lotus birth menjadi kenyataan 🙂


Our lovely baby: FARIZ LUKITO NUGROHO 02 November 2011, pukul 07.05 WIB in Bidan Kita Born by Waterbirth and Lotus Birth   Date of Posting: 01 December 2011 Posted By: IRMA KURNIA SARI Ibu dari 3 Anak dengan 3 macam proses persalinan, Yogyakarta


 


Baca Juga
SHARE
Subscribe to get free updates

Related Posts